Midnight Rain
Rasanya kita perlu bersyukur.
Hai sudah lama tak bersua melalui bait-bait suara yang ku konversikan melalui kata-kata. Kepada semuanya, selamat datang (kembali).
Beberapa bulan terakhir, aku merasa jauh. Jauh dari diri ku sendiri. Terlalu mengabaikan sinyal-sinyal yang diberikan. Terlampau jauh berlari, tapi lupa bahwa boleh jadi salah direksi.
Sejatinya aku tidak terlalu mencintai keramaian. Di setiap sudut waktu, amigdala ku sering mengusik, mempertanyakan kapan lagi waktu sendiri. Katanya, dia menunggu hal itu. Nyatanya tubuh tak mendengarkannya. Tubuh terus menggelora dan lupa bahwa istirahat adalah bagian dari haknya.
Di bawah langit yang biru pekat, aku memandang bulan yang tampak separuh. Aku bertanya, "Bulan, bagaimana bila esok tiba dan aku masih berdiri di tempat yang sama dan masa depan tetap menjadi teka-teki yang tak terpecahkan."
Aku merenung tapi bulan berangsur menghilang. Rintik pun jatuh, jatuh berangsur dan tibalah hujan mendarat di bawah semi ufuk purnama. Hujan di tengah malam, begitu indah.
Rasanya bulan telah berbisik, mengadu kepada hujan tentang kisahku. Kisah tentang jiwa yang tak pernah puas, yang terus mendongak ke atas bahkan setelah mencapai puncak. Tentang ambisi yang tak bertepi dan letih mengejar cakrawala yang selalu menjauh. Kapan titik "cukup" itu akan datang. Lalu, kapan aku bisa membiarkan diriku merasa bangga tanpa harus bergegas mencari tantangan berikutnya?
Masa depan, katanya, adalah hamparan tirai yang masih terlipat. Namun, apakah benar tugas kita untuk membuka lipatan tersebut ataukah pada dasarnya ia lebih elok dengan bentuk tersebut? Ah, apakah tidak masalah bila menjadi semenjana?
Aku menoleh ke belakang. Menatap kilas balik kisah yang telah aku ukir. Menatap indahnya naik dan turun fase yang tidak terasa berlalu juga. Menatap banyaknya kepercayaan yang telah diamanahkan.
Rasanya aku terlalu jahat bila masih enggan untuk bersyukur.
Ternyata, hidup ini tidak sesederhana itu. Bahagia yang katanya transmisi bila mendapatkan sesuatu, nyatanya juga tereduksi seiring berjalannya waktu.
Aku menoleh ke belakang. Kali ini untuk masuk ke kamar. Sebelum aku kedinginan. Aku takut kecewa bisikku.
Entah dari mana rasa itu muncul. Aku takut. Nyatanya aku tidak sepemberani itu.
Aku merenung, sepertinya memang sudah terlalu jauh. Sudah lama tidak mendengarkan diri sendiri. Terlalu membiarkan jelmaan-jelmaan rasa takut menghasut jiwa. Siluman-siluman rasa-rasa lain pun ku biarkan begitu saja. Oh diri, maafkan aku.
Di bawah langit hujan yang indah, aku tersadarkan bahwa ada kalanya kita harus berhenti sejenak. Menepi sedikit saja untuk menoleh ke belakang. Ternyata, kita sudah melangkah sejauh itu. Allah sudah mudahkan sesempurna itu. Kapankah hendak kita berterima kasih atas rahmat-Nya? Apakah terus menerus bergelumat menjadi hamba yang futur rahmat? Sudahkah lisan ciptaan-Nya ini memuji-Nya?
O Allah, alhamdullillah bini'matihi tatimusholihat.
Rasanya kita harus selalu bersyukur.
Komentar
Posting Komentar